Segala puji bagi Allah ta’ala yang telah memuliakan
kedudukan kedua orang tua, dan telah menjadikan mereka berdua sebagai pintu
tengah menuju surga. Shalawat serta salam, hamba yang lemah ini panjatkan
keharibaan Rasullah s.a.w yang mulia, keluarga serta para sahabatnya hingga
hari kiamat. Amin…
Ibu… aku terima suratmu yang engkau tulis dengan tetesan air
mata dan duka, dan aku telah membacanya, ya aku telah mengejanya kata demi
kata… tidak ada satu huruf pun yang aku terlewatkan.
Tahukah engkau, wahai Ibu, bahwa aku membacanya semenjak
shalat Isya’ dan baru selesai membacanya setelah ayam berkokok, fajar telah
terbit dan adzan pertama telah dikumandangkan?! Sebenarnyalah surat yang engkau
tulis tersebut jika ditaruhkan di atas batu, tentu ia akan pecah, sekiranya
diletakkan ke atas daun yang hijau tentu dia akan kering. Sebenarnyalah surat
yang engkau tulis tersebut tidak tersudu oleh itik dan tidak tertelan oleh
ayam. Sebenarnyalah bahwa suratmu itu bagiku bagaikan petir kemurkaan… bagaikan
awan kaum Tsamud yang datang berarak yang telah siap dimuntahkan kepadaku…
Ibu… Aku baca suratmu, sedangkan air mataku tidak pernah
berhenti!! Bagaimana tidak, sekiranya surat itu ditulis oleh orang yang bukan
ibu dan ditujukan pula bukan kepadaku, layaklah orang mempunyai hati yang keras
ketika membaca surat itu menangis sejadi-jadinya. Bagaimana kiranya yang menulis
itu adalah bunda dan surat itu ditujukan untuk diriku sendiri!!
Aku sering membaca kisah dan cerita sedih, tidak terasa
bantal yang dijadikan tempat bersandar telah basah karena air mata, aku juga
sering menangis melihat tangisnya anak yatim atau menitikkan air mata melihat
sengsaranya hidup si miskin. Aku acap kali tersentuh dengan suasana yang haru
dan keadaan yang memilukan, bahkan pada binatang sekalipun. Bagaimana pula
dengan surat yang ibu tulis itu!? Ratapan yang bukan ibu karang atau sebuah
drama yang ibu peranankan?! Akan tetapi dia adalah sebuah kenyataan…
Bunda yang kusayangi…
Sungguh berat cobaanmu… sungguh malang penderitaanmu… semua
yang engkau telah sebutkan benar adanya. Aku masih ingat ketika engkau
ditinggal ayah pada masa engkau hamil tua mengandung adikku. Ayah pergi entah
kemana tanpa meninggalkan wang belanja, jadilah engkau mencari apa yang dapat
dimasak di sekitar rumah dari dedaunan dan tumbuhan. Dengan jalan berat engkau
melangkah ke kedai untuk membeli ala kadarnya, sambil engkau membisikkan kepada
penjual bahwa apa yang engkau ambil tersebut sebagai hutang dan hendaklah
dicatat dulu. Hutang yang engkau sendiri tidak tahu kapan engkau akan dapat
melunasinya.
Ibu… aku masih ingat ketika kami anak-anakmu menangis untuk
dibuatkan makanan, engkau tiba-tiba menggapai atap dapur untuk mengambil kerak
nasi yang telah lama engkau jemur dan keringkan, tidak jarang pula engkau
simpan untukku sepulang sekolah tumbung kelapa, hanya untuk melihat aku
mengambilnya dengan segera. Atau aku masih ingat, engkau sengaja mengambilkan
air didih dari nasi yang sedang dimasak, ketika engkau temukan aku dalam
keadaan sakit demam.
Ibu… maafkanlah anakmu ini, aku tahu bahwa semenjak engkau
gadis sebagaimana yang diceritakan oleh nenek sampai engkau telah tua sekarang,
engkau belum pernah mengecap kebahagiaan. Duniamu hanya rumah serta halamannya,
kehidupanmu hanya dengan anak-anakmu. Belum pernah aku melihat engkau tertawa
bahagia kecuali ketika kami anak-anakmu datang ziarah kepadamu. Selain dari itu
tidak ada kebahagiaan, hari-harimu adalah perjuangan. Semua hidupmu hanya
pengorbanan.
Ibu… Maafkan aku anakmu ini! Semenjak engkau pilihkan
untukku seorang istri, wanita yang telah engkau puji sifat dan akhlaknya, yang
engkau telah sanjung pula suku dan negerinya!! Engkau katakan ketika itu
padaku, “Ambilah ia sebagai istrimu, gadis yang pemalu yang pandai bergaul,
cantik dan berakhlak mulia, punya hasab dan nasab!.”
Semenjak itu pula aku seakan-akan lupa denganmu. Keberadaan
dia sebagai istriku telah membuatku lupa posisi engkau sebagai ibuku, senyuman
dan sapaannya telah membuatku terlena dengan sapaan dan himbauanmu. Ibu… aku
tidak menyalahkan wanita pilihanmu tersebut, karena ia telah menunaikan
kewajibannya sebagai istri, terutama perhatiannya dalam berbakti kepadamu,
sudah berapa kali ia memintaku untuk menyediakan waktu untuk menziarahimu. Hari
yang lalu ia telah buatkan makanan buatmu, akan tetapi aku tidak punya waktu
mengantarkannya, hingga makanan itu telah menjadi basi…
Aku berharap pada permasalahan ini engkau tidak membawa-bawa
namanya dan mengaitkan kedurhakaanku kepadamu karenanya. Karena selama ini, di
mataku dia adalah istri yang baik, istri yang telah berupaya banyak untuk
kebahagiaan rumah tangganya.
Ibu… Ketika seorang laki-laki menikah dengan seorang wanita,
maka seolah-olah dia telah mendapatkan permainan baru, seperti anak kecil
mendapatkan boneka atau orang-orangan. Sekali lagi maafkan aku! Aku tidaklah
membela diriku, karena dari awal dan akhir pembicaraan ini kesalahan ada
padaku.. anakmu ini!! Akan tetapi aku ingin menerangkan keadaan yang kualami,
perubahan suasana setelah engkau dan aku berpisah dan perubahan jiwa ketika aku
tidak hanya mengenal dirimu, tapi kini aku telah mengenal satu wanita lagi.
Ibu… perkawinanku membuatku masuk ke dunia baru, dunia yang
selama ini tidak pernah kukenal, dunia yang hanya ada aku, istri dan anakku!!
Bagaimana tidak, istri yang baik dan anak-anak yang lucu-lucu!! Maafkan aku
Ibu… aku merasa dunia hanya milik kami, aku tidak peduli dengan keadaan orang lain,
yang penting bagiku adalah keadaan mereka.
Ibu… Maafkan aku, anakmu!! Aku telah lalai… aku telah lupa…
aku telah menyia-nyiakanmu!!
Aku pernah mendengar kajian, bahwa orang tua difitrahkan
untuk cinta kepada anaknya, dan anak difitrahkan untuk menyia-nyiakan orang
tuanya. Oleh sebab itu dilarang mencintai anak secara berlebihan dan anak
dilarang berbuat durhaka kepada orang tuanya. Itulah yang terjadi pada diriku,
wahai Ibu!! Aku seperti orang nanar ketika melihat anakku sakit, aku seperti
orang kebingungan ketika melihat anakku dirawat. Tapi itu sulit, aku rasakan
jika hal itu terjadi padamu atau pada ayah!!
Ibu… Sulit aku merasakan perasaanmu!! Kalaulah bukan karena
bimbingan agama yang telah lama engkau talqinkan kepadaku, tentu aku telah
seperti kebanyakan anak-anak yang durhaka kepada orang tuanya!! Kalaulah bukan
karena baktimu pula kepada orang tuamu dan orang tua ayah, niscaya aku tidak
akan pernah mengenal arti bakti kepada orang tua. Setelah suratmu datang, baru
aku mengerti!! Karena selama ini hal itu tidak pernah engkau ungkapkan,
semuanya engkau simpan dalam-dalam seperti semua permasalahan berat yang engkau
hadapi selama ini. Sekarang baru aku mengerti, bahwa hari yang sulit bagi
seorang ibu, adalah hari di mana anaknya telah menikah dengan seorang wanita.
Di matanya wanita yang telah mendampingi putranya itu adalah manusia yang
paling beruntung.
Bagaimana tidak!! Dia dapatkan seorang laki-laki yang telah
matang pribadi dan matang ekonomi dari seorang ibu yang telah letih
membesarkannya. Dengan detak jantungnya ia peroleh kematangan jiwa dan dari wang
ibu itu pula ia dapatkan kematangan ekonomi. Sekarang dengan ikhlas dia berikan
kepada seorang wanita yang tidak ada hubungannya, kecuali hubungan dua wanita
yang saling berebut perhatian seorang laik-laki. Laki-laki sebagai anak dari
ibunya dan ia sebagai suami dari istrinya.
Ibuku sayang… Maafkan aku Ibu!! Ampunkan diriku. Satu
tetesan air matamu adalah lautan api bagiku. Janganlah engkau menangis lagi,
jangan engkau berduka lagi!! Karena duka dan tangismu menambah dalam jatuhku ke
dalam api neraka!!
Aku takut Ibu… aku cemas dengan banyaknya dosaku kepada
Allah sekarang bertambah pula dengan dosaku terhadapmu. Dengan apa aku ridho
Allah, sekiranya engkau tidak meridhoiku. Apa gunanya semua kebaikan sekiranya
di matamu aku tidak punya kebaikan!! Bukankah ridho Allah tergantung dengan redhamu
dan sebaliknya bukankah kemurkaan Allah tergantung dengan kemurkaanmu!! Tahukah
engkau Ibu, seburuk-buruknya diriku, aku masih merasakan takut kepada murka
Allah!! Apalah jadinya hidup jika hidup penuh dengan murka dan laknat serta
jauh dari berkah dan nikmat.
Kalau akan murka itu pula yang aku peroleh, izinkan aku membwang
semua kebahagiaanku selama ini, demi hanya untuk dapat menyeka air matamu!
Kalau akan engkau pula murka kepadaku, izinkan aku datang kepadamu membawa
segala yang aku miliki lalu menyerahkannya kepadamu, lalu terserah engkau, mau
engkau perbuat apa?! Sungguh aku tidak mau masuk neraka! Seakalipun wahai
Bunda. Aku memiliki kekuasaan seluas kekuasaan Firaun, mempunyai kekayaan
sebanyak kekayaan Qarun dan mempunyai keahlian setinggi ilmu Haman. Pasti tidak
akan aku tukar dengan kesengsaraan di akhirat sekalipun sesaat. Siapa pula yang
tahan dengan azab neraka, wahai Bunda!! Ibu maafkan anakmu!! Adapun
sebutanmu tentang keluhan dan pengaduan kepada Allah ta’ala, bahwa engkau belum
mau mengangkatnya ke langit!!
Maka, ampun, wahai Ibu!! Aku angkat seluruh jemariku dan
sebelas dengan kepala untuk mohon maaf kepadamu!! Kalaulah itu yang terjadi,
do’a itu tersampaikan! Salah ucap pula lisanmu!! Apalah jadinya nanti diriku!!
Tentu kebinasaan yang telak. Tentu diriku akan menjadi tunggul yang tumbang
disambar petir, apalah gunanya kemegahan sekiranya engkau do’akan atasku
kebinasaan, tentu aku akan menjadi pohon yang tidak berakar ke bumi dan
dahannya tidak bisa sampai ke langit, di tengahnya dimakan kumbang pula!!
Kalaulah do’amu terucap atasku, wahai Ibu!! maka, tidak ada lagi gunanya hidup,
tidak ada lagi gunanya kekayaan, tidak ada lagi gunanya banyak pergaulan. Ibu
dalam sejarah anak manusia yang kubaca, tidak ada yang bahagia setelah kena
kutuk orang tuanya. Itu di dunia, maka aku tidak dapat bayangkan bagaimana
nasib bagi yang terkena kutuk di akhirat, tentu lebih sengsara.
Ibu… setelah membaca suratmu, baru aku menyadari kekhilafan,
kealfaan dan kelalaianku. Suratmu akan kujadikan benda berharga dan kusimpan
dengan dengan baik dalam hidupku, setiap kali aku lalai dalam berkhidmat
kepadamu akan aku baca ulang kembali, tiap kali aku lengah darimu akan kutalqin
diriku dengannya. Akan kusimpan dalam lubuk hatiku sebelum aku menyimpannya
dalam kotak wasiatku. Akan aku sampaikan kepada anak keturunanku bahwa ayah
mereka dahulu pernah lalai dalam berbakti, lalu sadar dan kembali kepada
kebenaran, ayah mereka pernah berbuat salah, sehingga ia telah menyakiti hati
orang yang seharusnya ia cintai, lalu ia kembali kepada petunjuk.
Tua… siapa yang tidak mengalami ketuaan, wahai Bunda!!
Badanku yang saat ini tegap, rambutku hitam, kulitku
kencang, akan datang suatu masa badan yang tegap itu akan ringkih dimakan usia,
rambut yang hitam akan dipenuhi uban ditelan oleh masa dan kulit yang kencang
itu akan menjadi keriput ditelan oleh zaman. Burung helang yang terbang di
angkasa, tidak pernah bermain kecuali di tempat yang tinggi, suatu saat nanti
dia akan jatuh jua, dikejar dan diperebutkan oleh burung kecil lainnya. Singa
si raja hutan yang selalu memangsa, jika telah tiba tuanya, dia akan
dikejar-kejar oleh anjing kecil tanpa ada perlawanan. Tidak ada kekuasaan yang
kekal, tidak ada kekayaan yang abadi, yang tersisa hanya amal baik atau amal
buruk yang akan dipertanggungjawabkan.
Ibu, do’akan anakmu ini agar menjadi anak yang berbakti
kepadamu di masa banyak anak yang durhaka kepada orang tuanya. Angkatlah ke
langit munajatmu untukku agar aku akan memperoleh kebahagiaan abadi di dunia
dan di akhirat.
Ibu… sesampainya suratku ini, insya Allah, tidak akan ada
lagi air mata yang jatuh karena ulah anakmu, setelah ini tidak ada lagi
kejauhan antaraku denganmu, bahagiamu adalah bahagiaku, kesedihanmu adalah
kesedihanku, tawamu adalah tawaku dan tangismu adalah tangisku. Aku berjanji
untuk selalu berbakti kepadamu buat selamanya dan aku berharap aku dapat
membahagiakanmu selama mataku masih berkedip.
Bahagiakanlah dirimu… buanglah segala kesedihan, cobalah
tersenyum!! Ini kami, aku, istri, dan anak-anak sedang bersiap-siap untuk
bersimpuh di hadapanmu, mencium tanganmu. Salam hangat dari anakmu. “inilah
balasan surat dari sang anak kepada ibunya, mengakui semua kesalahan dan
meminta ampun kepada sang ibu.”
Keredhaan Ibu adalah keredhaan Allah swt, dan murka Ibu
adalah murka Allah swt.
kamu akan merasakannya pabila jadi seorang ibu
ReplyDelete