Oleh : ~ Harriemaulana ~
Sepotong do'a yang pernah diajarkan Rasulullah SAW dan
menjadi sunnah untuk dipanjatkan kesyukuran kepada Allah Azza wa Jalla sebelum
seseorang yang hendak menuntut ilmu dan do'a tersebut berbunyi :
اللَّهُمَّ انْفَعْنِى بِمَا عَلَّمْتَنِى وَعَلِّمْنِى مَا
يَنْفَعُنِى وَزِدْنِى عِلْماً مَا يَنْفَعُنِى
Dengan do'a ini seorang hamba berharap dikurniai oleh-Nya
ilmu yang bermanfaat untuk dirinya mahupun pada orang lain jua.
Apakah hakikat ilmu yang bermanfaat itu? Secara syariatnya,
suatu ilmu disebut bermanfaat apabila mengandung mashlahat - memiliki
nilai-nilai kebaikan bagi sesama manusia ataupun alam sejagat. Akan tetapi,
ilmu tersebut menjadi tidak berguna sama sekali apabila tidak merasakan
kedekatan kepada Zat Maha Pemberi Ilmu yakni Allah Azza wa Jalla. Dengan ilmu
maka seseorang itu mungkin di angkat darjat kemuliaannya di mata manusia,
tetapi belum tentu di angkat darjat kemuliaan itu disisi Allah Azza wa Jalla.
Dalam erti kata gambaran ilmu yang memberi manfaat itu
sebagaimana yang pernah disebutkan oleh ahli sufi. " Ilmu yang berguna
itu, ialah seperti sinar cahaya yang luas di dalam dada dan membuka penutup
hati. Seorang tokoh sufi iaitu Imam Malik bin Anas r.a. juga telah mengungkap
kata-kata yang sedemikian iaitu " Yang bernama ilmu itu bukanlah
kepandaian atau banyak meriwayatkan sesuatu (hadith), melainkan ianya adalah
nur (cahaya) yang di masukkan Allah ke dalam hati-hati manusia. Adapun
bergunanya ilmu itu adalah untuk mendekatkan manusia kepada-Nya (Allah)
dan menjauhkannya dari kesombongan diri."
Hakikat ilmu itu adalah kalaam Allah Azza wa Jalla.
Sesungguhnya tidak akan ada satu makhluk pun di alam semesta ini yang dapat
mengukur Kemahaluasan ilmu-Nya. Sesuai dengan firman-Nya :
قُل لَّوْ كَانَ الْبَحْرُ مِدَاداً لِّكَلِمَاتِ رَبِّى
لَنَفِدَ الْبَحْرُ قَبْلَ أَن تَنفَدَ كَلِمَاتُ رَبِّى وَلَوْ جِئْنَا
بِمِثْلِهِ مَدَداً
"Katakanlah (wahai Muhammad) Kalau sekiranya seluruh
lautan itu dijadikan tinta untuk (menuliskan) kalimat-kalimat Tuhanku, sudah
tentu akan habis kering kontang lautan itu sebelum habis tertulisnya
kalimat-kalimat Tuhanku,walaupun Kami tambahi lagi dengan lautan yang sebanding
dengannya, sebagai bantuan.” Al Kahfi :109
Adapun ilmu yang dititipkan kepada manusia adalah tidak
lebih dari setitik air di tengah samudera yang luas. Demikian juga, barangsiapa
yang dikurniakan ilmu oleh Allah, maka dengan ilmu tersebut semakin bertambah
dekat dan kian takutlah ia berbuat maksiat kepada-Nya. Firman Allah SWT :
...يَرْفَعِ اللهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ
أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ...
“ Dialah (Allah) mengangkat akan darjat orang-orang yang
beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan (dari
kalangan kamu)." Al Mujaadalah :11
Sesungguhnya janji Allah SWT itu tidak akan pernah meleset
sedikit pun! Walaupun hanya dengan setitis ilmu yang dititipkan ke dada-dada
manusia, namun terlalu banyak sehingga tak pernah habis ilmu itu walau ianya
dikaji sepanjang hayat. Bagi hamba-hamba yang arifin, ilmu tersebut menjadikan
diri mereka semakin takut untuk berbuat maksiat kepada Allah. Inilah ilmu yang
paling barkah yang sangat dituntut bagi kita mencarinya. Menuntut ilmu yang
jelas (benar) niat mahu pun caranya (dari sebarang maksud yang lain selain dari
keredhaan Allah semata-mata), nescaya kita akan mendapatkan manfaat yang besar
tak terhingga darinya.
Bagaimana pula caranya agar kita memperolehi ilmu yang
bersinar cahaya dan meliputi di dalam dada serta dapat pula membuka penutup
hati? Imam Syafie yang nama sebenarnya ialah Muhammad bin Idris ketika masih
menuntut ilmu, pernah ia mengeluh kepada gurunya lalu berkata "Wahai guru,
mengapa ilmu yang sedang ku kaji ini susah sekali untuk memahaminya, bahkan
cepat pula ia lupa?" Lalu guru itu pun menjawab, "Ilmu itu ibarat
cahaya. Ia hanya dapat menerangi gelas yang bening (jernih) dan bersih."
Maksud kata-kata guru itu ialah, ilmu tidak akan menerangi hati yang keruh dan
banyak pula maksiatnya.
Oleh itu janganlah kita hairan sekiranya berlaku pada
orang-orang yang rajin mendatangi majlis-majlis ilmu, tamrin atau kuliah tetapi
akhlak dan perilakunya tetap buruk. Mengapa pula demikian? Itulah yang
dimaksudkan hati yang tidak dapat diterangi oleh ilmu, laksana air kopi yang
hitam pekat di dalam gelas yang kotor. Walaupun diterangi dengan cahaya sekuat
mana pun, sinar cahayanya tetap tidak dapat menembusi serta menerangi isi ruang
gelas tersebut. Begitulah kalau kita sudah tamak dan rakus kepada dunia serta
gemar maksiat, maka ilmu tidak akan pernah menerangi hati.
Padahal kalau hati kita bersih, ia umpama gelas yang bersih
lalu diisi pula dengan air yang bening. Walau dengan setitik cahaya sekali pun
akan mampu menerangi seisi gelas tersebut. Walhal, bila kita menginginkan ilmu
yang boleh menjadi ladang amal saleh, maka usahakanlah ketika menimbanya, hati
kita selalu dalam keadaan bersih. Hati yang bersih adalah hati yang bebas dari
ketamakan terhadap urusan dunia dan tidak pernah digunakan untuk menzalimi
sesama manusia mahu pun makhluk-makhluk Allah yang lain. Semakin hati bersih,
semakin dipekakan Allah untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat tak kira
darimana sekali pun ilmu itu datang. Disamping itu, kita pun akan diberi
kesanggupan untuk menolak segala sesuatu yang akan membawa kepada mudarat.
Sebaik-baik ilmu itu adalah yang dapat membuat hati kita
bercahaya. Oleh yang demikian, kita wajib menuntut ilmu sekuat-kuatnya yang
dapat membuat hati kita menjadi bersih, sehingga pengetahuan yang lain (yang
telah ada dalam diri kita) turut menjadi bermanfaat (ilmu).
Bila kita timba air diperigi yang keruh, lalu kita akan
mencari tawas untuk menjernihkannya. Demikianlah halnya dalam mencari ilmu.
Kita hendaklah menuntut ilmu itu lalu menjadi tawas dan apabila hati sudah
bening, ilmu-ilmu lain yang kita kaji dapat diserap seraya membawa manfaat.
Mengapa demikian? Sebab dalam mengkaji ilmu apapun kalau
kita sebagai penampungnya dalam keadaan kotor dan keruh, maka tidak dapat
tidak, ilmu yang dituntut itu hanya akan menjadi alat pemuas nafsu semata-mata.
Sibuk mengkaji ilmu-ilmu fiqh sahaja, tetapi hanya akan membuat kita menang
sendiri dan gemar menyalahkan pendapat orang lain, sekaligus menganiaya dan
suka menyakiti hati sesama manusia.
Demikian juga dalam kita mendalami ilmu ma'rifat. Sekiranya
dalam keadan hati itu busuk maka jangan hairanlah kalau hanya membuat diri kita
riyak dan takabbur sahaja, malah merasa diri ini paling soleh dan menganggap
orang lain itu kotor dan sesat.
Oleh kerana itu adalah menjadi tuntutan fardhu ain ke atas
kita untuk mengkaji ilmu kesucian hati dalam erti kata ma'rifat yakni mengenal
Allah. Datangilah ke majlis-majlis zikirullah dengan mendapat pimpinan dari
guru-guru mursyid yang membimbing kita kepada riyadhah iaitu berlatih mengenal
dan mendekati diri kepada Allah Azza wa Jalla. Kita dibimbing agar
memperbanyakkan berzikir iaitu mengingati Allah dan mengenal kebesaran-Nya,
sehingga sedar betapa teramat kecilnya kita ini di hadapan-Nya.
Kita dilahirkan ke dunia dengan tidak membawa apa-apa
dan demikianlah halnya apabila kita dikembalikan juga dengan tidak membawa
apa-apa. Jadi kenapa mesti adanya perasaan ujub, riyak, takabbur, dan sum'ah di
dalam diri kita? Merasakan diri ini besar, lalu memandang yang lain kecil. Merasa
diri lebih pintar sedangkan yang lain bodoh. Apa! Adakah kita merasakan
kehebatan dari ilmu yang kita miliki ini? Apakah kita sudah lupa bahawasanya
ilmu yang kita miliki itu adalah titipan Allah jua. Dan tidak menjadi sulit
bagi-Nya untuk mengambilnya kembali dari kita?
Subhanallaah! Mudah-mudahan kita dimudahkan oleh-Nya untuk
mendapatkan ilmu yang dapat menjadi penerang dalam kegelapan dan menjadi jalan
untuk dapat lebih taqarrub (hampir) kepada-Nya.***
Wallahu a’lam
~ Harriemaulana ~
~ Harriemaulana ~
No comments:
Post a Comment