Thursday, 22 December 2011

ILMU PEMBERSIH HATI

 
Sepotong do'a yang pernah diajarkan Rasulullah SAW dan menjadi sunnah untuk dipanjatkan kesyukuran kepada Allah Azza wa Jalla sebelum seseorang yang hendak menuntut ilmu dan do'a tersebut berbunyi :

اللَّهُمَّ انْفَعْنِى بِمَا عَلَّمْتَنِى وَعَلِّمْنِى مَا يَنْفَعُنِى وَزِدْنِى عِلْماً مَا يَنْفَعُنِى

Dengan do'a ini seorang hamba berharap dikurniai oleh-Nya ilmu yang bermanfaat untuk dirinya mahupun pada orang lain jua.
Apakah hakikat ilmu yang bermanfaat itu? Secara syariatnya, suatu ilmu disebut bermanfaat apabila mengandung mashlahat - memiliki nilai-nilai kebaikan bagi sesama manusia ataupun alam sejagat. Akan tetapi, ilmu tersebut menjadi tidak berguna sama sekali apabila tidak merasakan kedekatan kepada Zat Maha Pemberi Ilmu yakni Allah Azza wa Jalla. Dengan ilmu maka seseorang itu mungkin di angkat darjat kemuliaannya di mata manusia, tetapi belum tentu di angkat darjat kemuliaan itu disisi Allah Azza wa Jalla.

Dalam erti kata gambaran ilmu yang memberi manfaat itu sebagaimana yang pernah disebutkan oleh ahli sufi. " Ilmu yang berguna itu, ialah seperti sinar cahaya yang luas di dalam dada dan membuka penutup hati. Seorang tokoh sufi iaitu Imam Malik bin Anas r.a. juga telah mengungkap kata-kata yang sedemikian iaitu " Yang bernama ilmu itu bukanlah kepandaian atau banyak meriwayatkan sesuatu (hadith), melainkan ianya adalah nur (cahaya) yang di masukkan Allah ke dalam hati-hati manusia. Adapun bergunanya ilmu itu adalah untuk mendekatkan manusia kepada-Nya (Allah) dan  menjauhkannya dari kesombongan diri."

Hakikat ilmu itu adalah kalaam Allah Azza wa Jalla. Sesungguhnya tidak akan ada satu makhluk pun di alam semesta ini yang dapat mengukur Kemahaluasan ilmu-Nya. Sesuai dengan firman-Nya :

قُل لَّوْ كَانَ الْبَحْرُ مِدَاداً لِّكَلِمَاتِ رَبِّى لَنَفِدَ الْبَحْرُ قَبْلَ أَن تَنفَدَ كَلِمَاتُ رَبِّى وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهِ مَدَداً

"Katakanlah (wahai Muhammad) Kalau sekiranya seluruh lautan itu dijadikan tinta untuk (menuliskan) kalimat-kalimat Tuhanku, sudah tentu akan habis kering kontang lautan itu sebelum habis tertulisnya kalimat-kalimat Tuhanku,walaupun Kami tambahi lagi dengan lautan yang sebanding dengannya, sebagai bantuan.” Al Kahfi :109

Adapun ilmu yang dititipkan kepada manusia adalah tidak lebih dari setitik air di tengah samudera yang luas. Demikian juga, barangsiapa yang dikurniakan ilmu oleh Allah, maka dengan ilmu tersebut semakin bertambah dekat dan kian takutlah ia berbuat maksiat kepada-Nya. Firman Allah SWT :

...يَرْفَعِ اللهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ...

“ Dialah (Allah) mengangkat akan darjat orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan (dari kalangan kamu)." Al Mujaadalah :11

Sesungguhnya janji Allah SWT itu tidak akan pernah meleset sedikit pun! Walaupun hanya dengan setitis ilmu yang dititipkan ke dada-dada manusia, namun terlalu banyak sehingga tak pernah habis ilmu itu walau ianya dikaji sepanjang hayat. Bagi hamba-hamba yang arifin, ilmu tersebut menjadikan diri mereka semakin takut untuk berbuat maksiat kepada Allah. Inilah ilmu yang paling barkah yang sangat dituntut bagi kita mencarinya. Menuntut ilmu yang jelas (benar) niat mahu pun caranya (dari sebarang maksud yang lain selain dari keredhaan Allah semata-mata), nescaya kita akan mendapatkan manfaat yang besar tak terhingga darinya.

Bagaimana pula caranya agar kita memperolehi ilmu yang bersinar cahaya dan meliputi di dalam dada serta dapat pula membuka penutup hati? Imam Syafie yang nama sebenarnya ialah Muhammad bin Idris ketika masih menuntut ilmu, pernah ia mengeluh kepada gurunya lalu berkata "Wahai guru, mengapa ilmu yang sedang ku kaji ini susah sekali untuk memahaminya, bahkan cepat pula ia lupa?" Lalu guru itu pun menjawab, "Ilmu itu ibarat cahaya. Ia hanya dapat menerangi gelas yang bening (jernih) dan bersih." Maksud kata-kata guru itu ialah, ilmu tidak akan menerangi hati yang keruh dan banyak pula maksiatnya.

Oleh itu janganlah kita hairan sekiranya berlaku pada orang-orang yang rajin mendatangi majlis-majlis ilmu, tamrin atau kuliah tetapi akhlak dan perilakunya tetap buruk. Mengapa pula demikian? Itulah yang dimaksudkan hati yang tidak dapat diterangi oleh ilmu, laksana air kopi yang hitam pekat di dalam gelas yang kotor. Walaupun diterangi dengan cahaya sekuat mana pun, sinar cahayanya tetap tidak dapat menembusi serta menerangi isi ruang gelas tersebut. Begitulah kalau kita sudah tamak dan rakus kepada dunia serta gemar maksiat, maka ilmu tidak akan pernah menerangi hati.

Padahal kalau hati kita bersih, ia umpama gelas yang bersih lalu diisi pula dengan air yang bening. Walau dengan setitik cahaya sekali pun akan mampu menerangi seisi gelas tersebut. Walhal, bila kita menginginkan ilmu yang boleh menjadi ladang amal saleh, maka usahakanlah ketika menimbanya, hati kita selalu dalam keadaan bersih. Hati yang bersih adalah hati yang bebas dari ketamakan terhadap urusan dunia dan tidak pernah digunakan untuk menzalimi sesama manusia mahu pun makhluk-makhluk Allah yang lain. Semakin hati bersih, semakin dipekakan Allah untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat tak kira darimana sekali pun ilmu itu datang. Disamping itu, kita pun akan diberi kesanggupan untuk menolak segala sesuatu yang akan membawa kepada mudarat.

Sebaik-baik ilmu itu adalah yang dapat membuat hati kita bercahaya. Oleh yang demikian, kita wajib menuntut ilmu sekuat-kuatnya yang dapat membuat hati kita menjadi bersih, sehingga pengetahuan yang lain (yang telah ada dalam diri kita) turut menjadi bermanfaat (ilmu).

Bila kita timba air diperigi yang keruh, lalu kita akan mencari tawas untuk menjernihkannya. Demikianlah halnya dalam mencari ilmu. Kita hendaklah menuntut ilmu itu lalu menjadi tawas dan apabila hati sudah bening, ilmu-ilmu lain yang kita kaji dapat diserap seraya membawa manfaat.

Mengapa demikian? Sebab dalam mengkaji ilmu apapun kalau kita sebagai penampungnya dalam keadaan kotor dan keruh, maka tidak dapat tidak, ilmu yang dituntut itu hanya akan menjadi alat pemuas nafsu semata-mata. Sibuk mengkaji ilmu-ilmu fiqh sahaja, tetapi hanya akan membuat kita menang sendiri dan gemar menyalahkan pendapat orang lain, sekaligus menganiaya dan suka menyakiti hati sesama manusia.

Demikian juga dalam kita mendalami ilmu ma'rifat. Sekiranya dalam keadan hati itu busuk maka jangan hairanlah kalau hanya membuat diri kita riyak dan takabbur sahaja, malah merasa diri ini paling soleh dan menganggap orang lain itu kotor dan sesat.
Oleh kerana itu adalah menjadi tuntutan fardhu ain ke atas kita untuk mengkaji ilmu kesucian hati dalam erti kata ma'rifat yakni mengenal Allah. Datangilah ke majlis-majlis zikirullah dengan mendapat pimpinan dari guru-guru mursyid yang membimbing kita kepada riyadhah iaitu berlatih mengenal dan mendekati diri kepada Allah Azza wa Jalla. Kita dibimbing agar memperbanyakkan berzikir iaitu mengingati Allah dan mengenal kebesaran-Nya, sehingga sedar betapa teramat kecilnya kita ini di hadapan-Nya.

Kita dilahirkan ke dunia  dengan tidak membawa apa-apa dan demikianlah halnya apabila kita dikembalikan juga dengan tidak membawa apa-apa. Jadi kenapa mesti adanya perasaan ujub, riyak, takabbur, dan sum'ah di dalam diri kita? Merasakan diri ini besar, lalu memandang yang lain kecil. Merasa diri lebih pintar sedangkan yang lain bodoh. Apa! Adakah kita merasakan kehebatan dari ilmu yang kita miliki ini? Apakah kita sudah lupa bahawasanya ilmu yang kita miliki itu adalah titipan Allah jua. Dan tidak menjadi sulit bagi-Nya untuk mengambilnya kembali dari kita?

Subhanallaah! Mudah-mudahan kita dimudahkan oleh-Nya untuk mendapatkan ilmu yang dapat menjadi penerang dalam kegelapan dan menjadi jalan untuk dapat lebih taqarrub (hampir) kepada-Nya.***

Wallahu a’lam



~ Harriemaulana ~

No comments:

Post a Comment