Saturday 26 October 2013

Adab murid dengan guru

Berikut ini beberapa adab yang selayaknya dimiliki oleh penuntut ilmu ketika menimba ilmu kepada gurunya. Sebagai nasehat bagi kami, selaku seseorang yang masih belajar dan nasehat bagi saudara-saudara kami seiman yang sedang dan ingin menimba ilmu. Allahul Muwaffiq.[i]  


1. Ikhlas sebelum melangkah

Pertama kali sebelum me­langkah untuk menuntut ilmu hendaknya kita berusaha selalu mengikhlaskan niat. Sebagaimana telah jelas niat adalah fak­tor penentu diterimanya sebuah amalan. Ilmu yang kita pelajari adalah ibadah, amalan yang mu­lia, maka sudah barang tentu butuh niat yang ikhlas dalam menjalaninya. Belajar bukan karena ingin disebut sebagai pak ustadz, ?rang alim atau ingin meraih ba-iian dunia yang menipu.

Dalil akan pentingnya ikhlas beramal di antaranya firman Allah:

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاء

Padahal mereka tidakdisuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta’atan kepada-Nya dalam(menjalankan) agama yang lurus… (QS. al-Bayyinah [98]: 5)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

Barangsiapa yang menuntut ilmu untuk membantah orang bodoh, atau berbangga di hadapan ulama atau mencari perhatian manusia, maka dia masuk neraka. (HR. Ibnu Majah 253)

Imam ad-Daruqutni berkata: “Dahulu kami menuntut ilmu untuk selain Allah, akan tetapi ilmu itu enggan kecuali untuk Allah.” (Tadzkiratus Sami hal. 47, lihat Ma’alim fi Thoricj Tholibil llmihal. 20)[ii]

Imam asy-Syaukani berkata: “Pertama kali yang wajib bagi seorang penuntut ilmu adalah meluruskan niatnya. Hendaklah yang tergambar dari perkara yang ia kehendaki adalah syariat Allah, yang dengannya diturunkan para Rasul dan al-Kitab. Hendaklah penuntut ilmu membersihkan dirinya dari tujuan-tujuan duniawi[iii], atau karena ingin inencapai kemuliaan, kepemimpinan dan Iain-lain. Ilmu ini mulia, tidak menerima selainnya.” (Adabut Tholab wa Muntaha al-Arab hal. 21)

Apabila keikhlasan telah hilang ketika belajar, maka amalan ini (menuntut ilmu) akan berpindah dari keutamaan yang paling utama menjadi kesalahan yang paling rendah!. (at-Ta’liq as-Tsamin hal. 18)

2. Jangan mencari guru sembarangan

Ibnu Jama’ah al-Kinani berkata: “Hendaklah penuntut ilmu mendahulukan pandangannya, istikhoroh kepada Alloh untuk memilih kepada siapa dia berguru. Hendaklah dia memilih guru yang benar-benar ahli, benar-benar lembut dan terjaga kehormatannya. Hendaklah murid memilih guru yang paling bagus dalam mengajar dan paling ba­gus dalam memberi pemahaman. Janganlah dia berguru kepada orang yang sedikit sifat waro’nya atau agamanya atau tidak punya akhlak yang bagus.” (Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim hal. 86)

Bukan sebuah aib apabila kita menuntut ilmu dari orang alim yang masih muda. Imam Ibnu Muflih berkata: “Fasal mengam­bil ilmu dari ahlinya sekalipun masih berusia muda.” (al-Adab asy-Syari’ah 2/214)

Sahabat Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Aku dahulu membacakan ilmu kepada beberapa orang muhajirin, di antara mereka ada Abdurrahman bin Auf.” (HR. Bukhori 6442)

Imam Ibnul Jauzi rahimahullah ber­kata: “Dalam hadits ini terdapat peringatan akan perlunya mengambil ilmu dari ahlinya sekalipun masih berusia muda atau sedikit kedudukannya.” (Kasyful Musykil, lihat Adab at-Tatalmudz hal. 16)

Imam Ibnu Abdil Barr berka­ta: “Orang yang bodoh itu tetap dikatakan rendah sekalipun dia seorang syaikh. Dan orang yang berilmu itu tetap mulia sekalipun masih muda.” (Jami’ Bayanil Ilmi, Adab at-Tatalmudz hal. 16)

Faedah: Orang berilmu tetap di­katakan alim sekalipun masih muda.

Mengambil Ilmu dari ahli bid’ah?

Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Perhatikanlah, agamamu. Lihatlah dari mana kamu mengambil ilmu. Ambillah ilmu dari orang yang istiqomah, jangan kamu mengambilnya dari orang yang menyimpang.” (al-Kifayah oleh Khothib al-Baghdadihal. 149)

Syaikh Bakr Abu Zaid ber­kata: “Waspadalah anda dari -Abu Jahl- ahli bid’ah yang me­nyimpang aqidahnya. Yang menjadikan hawa nafsu sebagai hakim dia sebut akal. Berpaling dari dalil. Dia lebih berpegang dengan yang dho’if dan menjauh dari yang shohih.” (Hilyah Tholibil Ilmi. Lihat at-Ta’liq as-Tsamin hal. 204)

Akan tetapi jika seorang muslim terpaksa belajar kepada ahli bid’ah semisal dia tidak mendapati ahli sunnah maka perkaranya lain lagi. Syaikhul Islam mengatakan, “Apabila ada udzur untuk mengerjakan kewajiban berupa ilmu atau jihad kecuali kepada orang yang ada bid’ahnya, yang mana bahayanya lebih kecil daripada meninggalkan kewajiban itu, maka meraih kewajiban dengan melakukan kejelekan yang ringan hal itu lebih baik daripada sebaliknya. Oleh karena itu masalah ini perlu perincian.” (Majmu’ Fatawa 28/212)

3. Mengagungkan guru

Mengagungkan orang yang berilmu termasuk perkara yang dianjurkan. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda;

Bukanlah termasuk golongan kami orang   yang   tidak   menghorrmti orang yang tua, tidak menyayangi yang muda dan tidak mengerti hak ulama kami. (HR. Ahmad 5/323, Hakim 1/122. 

Imam Nawawi rahimahullah berka­ta: “Hendaklah seorang murid memperhatikan gurunya dengan pandangan penghormatan. Hen­daklah ia meyakini keahlian gu­runya dibandingkan yang lain. Karena hal itu akan menghantarkan seorang murid untuk banyak mengambil manfaat darinya, dan lebih bisa membekas dalam hati terhadap apa yang ia dengar dari gurunya tersebut.” (al-Majmu’ 1/84)

Bolehkah mencium kepala atau tangan guru?

Sering kita jumpai seorang murid mencium tangan gurunya sebagai bentuk penghormatan dan pengagungan. Apakah perkara ini dibolehkan?

Shuhaib Maula Ibnu Abbas berkata: “Aku melihat sahabat Ali mencium tangan dan kedua kaki al-Abbas.” (HR. Bukhari dalam al-Adab al-Mufrod no. 976)

Imam Ibnu Muflih berkata: “Dibolehkan berpelukan, men­cium tangan dan kepala, apabila karena perkara agama, atau demi pemuliaan dan penghormatan dan aman dari  syahwat. Zahirnya hal ini tidak dibolehkan apabila karena urusan dunia.” (al-Adab asy-Syar’iah 2/377)

Perhatian: Apabila seseorang memulai dengan menjulurkan tangannya kepada manusia agar mereka mencium, maka ini terlarang secara tegas tanpa ada perselisihan dan siapa pun dia orangnya. Berbeda apabila orang yang mencium dia yang memulai untuk mencium (maka boleh).” (Adab at-Tatalmudz hal. 21)

4. Akuilah keutamaan gurumu

Khathib al-Baghdadi berkata: “Wajib bagi seorang murid untuk mengakui keutamaan gurunya yang faqih dan hendaklah pula menyadari bahwa dirinya banyak mengambil ilmu dari gurunya.” (al-Faqih wal Mutafaqqih 1/196)

Ibnu Jamaah al-Kinani ber­kata: “Hendaklah seorang mu­rid mengenal hak gurunya, jangan dilupakan semua jasanya.” (Tadzkiratus Sami’ hal. 90)

5. Doakan kebaikan

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda;

Apabila ada yang berbuat baik kepadamu maka balaslah dengan balasan yang setimpal. Apabila kamu tidak bisa membalasnya, maka doakanlah dia hingga engkau memandang telah mencukupi untuk membalas dengan balasan yang setimpal.” (HR. Abu Dawud 1672, Nasa’i 1/358, Ah­mad 2/68, Hakim 1/412 Bukhori dalam al-Adab al-Mufrod no. 216, Ibnu Hibban 2071, Baihaqi 4/199, Abu Nu’aim dalam al-Hilyah 9/56. Lihat as-Shohihah 254)

Imam Abu Hanifah berkata: “Tidaklah aku sholat sejak kematian Hammad kecuali aku memintakan ampun untuknya dan orang tuaku. Aku selalu me­mintakan ampun untuk orang yang aku belajar darinya atau yang mengajariku ilmu.” (Mana-qib Imam Abu Hanifah. Lihat Adab at-Tatalmudz hal. 28)

Ibnu Jama’ah berkata: “Hen­daklah seorang penuntut ilmu mendoakan gurunya sepanjang masa. Memperhatikan anak-anaknya, kerabatnya dan menunaikan haknya apabila telah wafat.” (Tadzkiroh Sami’ hal. 91)

6. Rendah diri kepada guru

Ibnu Jama’ah rahimahullah berkata: “Hendaklah seorang murid mengetahui bahwa rendah dirinya kepada seorang guru adalah kemuliaan, dan tunduknya adalah kebanggaan.” (Tadzkirah Sami’ hal. 88)

Sahabat Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma de­ngan kemuliaan dan kedudukannya yang agung, beliau men­gambil tali kekang unta Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu seraya berkata: “Demikianlah kita diperintah untuk berbuat baik kepada ulama.” (as-Syifa 2/608)

al-Khathib telah meriwayatkan dalam kitab Jami’nya bahwa Ibnul Mu’taz berkata: “Orang yang rendah diri dalam belajar adalah yang paling banyak ilmunya sebagaimana tempat yang rendah adalah tempat yang pa­ling banyak airnya.” (Adab at-Tat­almudz hal. 32)

Peringatan. Ibnu Jama’ah al-Ki­nani berkata rahimahullah: “Hendaknya seorang penuntut ilmu tidak hanya mencukupkan diri untuk belajar kepada guru-guru yang populer saja, karena hal itu dinilai oleh al-Ghozali termasuk kesombongan dan kebodohan. Ketahuilah bahwa kebenaran adalah seperti barang hilang yang dicari oleh seorang mukmin, dia akan mengambilnya dimana pun dia mendapatkannya dan berterima kasih kepada orang yang memberikan kepadanya. Demikian pula seorang penuntut ilmu, dia akan lari dari kebodohan seba­gaimana dia lari dari singa. Dan orang yang lari dari singa, dia ti­dak akan peduli siapa pun orang­nya yang menunjukkan jalan keluar kepadanya.” (Tadzkiroh Sami’ fi Adabil Alim wal Muta’allim hal. 87)

7. Mencontoh akhlaknya

Hendaklah seorang penun­tut ilmu mencontoh akhlak dan kepribadian guru. Mencontoh kebiasaan dan ibadahnya. (Tadz­kirah Sami’ hal. 86)

Qashim bin Salam menceritakan: “Adalah para murid Ibnu Mas’ud mereka belajar kepada­nya untuk melihat akhlak, ke­pribadian dan kemudian menirunya.” (Adab at-Tatalmudz hal. 40)

Imam as-Sam’ani menceritakan bahwa majelis Imam Ahmad bin Hanbal dihadiri lima ribu orang. Lima ratus orang menulis sedangkan selainnya hanya ingin melihat dan meniru adab dan akhlak Imam Ahmad.” (Siyar AlamNubala11/316)

Perhatian. Imam asy-Syathibi berkata: “Walhasil, hendaklah seseorang tidak mengikuti ularna kecuali yang terpercaya menurut kaca mata syar’i. Yang selalu menegakkan hujjah, paling paham dengan hukum syar’i secara umum maupun terperinci. Maka acapkali yang diikuti tidak sesuai dengan syar’i dalam sebagian masalah, maka janganlah dijadikan hakim dan jangan ditiru kesalahannya yang menyelisihi syariat.” (al-I’thishom 1/535, Adab at-Tatalmudz hal. 42)

8. Bila pelajaran sudah dimulai

Bila pelajaran telah dimulai hendaklah bagi seorang penuntut ilmu memperhatikan hal-hal berikut;

Menghadirkan hati dan perhatian dengan seksama

Apabila telah hadir dalam majelis ilmu maka pusatkanlah perhatianmu untuk mendengar dan memahami pelajaran. Jangan biarkan hati menerawang ke-mana-mana. Konsentrasi penuh, karena sikap yang demikian akan membuat pelajaran lebih membekas dan terpahami.

Ibnu Jama’ah berkata: “Hen­daklah seorang murid ketika menghadiri pelajaran gurunya memfokuskan hatinya dan ber-sih dari segala kesibukan. Piki-rannya penuh konsentrasi, ti­dak dalam keadaan mengantuk, marah, haus, lapar dan lain seba-gainya. Yang demikian agar hati­nya benar-benar menerima dan memahami terhadap apa yang dijelaskan dan apa yang dia de-ngar.” (Tadzkirah Sami’ hal. 96)

Faedah. Imam Hasan al-Bashri rahimahullahberkata: “Apabila engkau bermajelis maka bersemangatlah untuk mendengarkan daripada berbicara. Belajarlah bagaimana mendengar yang baik sebagaimana belajar berkata. Janganlah engkau memutus pembicaraan orang.” (Adab at-Tatalmudz hal. ,43)

Mengenakan pakaian yang bersih

Hal ini harus diperhatikan pula. Hendaklah seorang murid berpakaian yang sopan dan ber­sih. Ingatlah ketika malaikat Jibril bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau sangat bersih pakaian dan keadaan dirinya. Umar bin Khattab mengatakan: “Ketika kami duduk di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu hari, tiba-tiba datang kepada kami seorang laki-laki yang berpakaian sangat putih, rambutnya sangat hitam, tidak terlihat padanya bekas perjalanan jauh.” (HR. Muslim 8, Abu Dawud 4695, Tirmidzi 2610, Nasa’i 8/97, Ibnu Majah 63 dan selainnya.)

Karena kondisi yang bersih menandakan bahwa seorang murid siap menerima pelajaran dan ilmu. Maka jangan salah-kan apabila ilmu tidak mere-sap dalam dada karena kondisi kita yang kurang siap, pakaian penuh keringat, kepanasan dan sebagainya.

Duduk dengan tenang

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin berkata: “Duduklah dengan duduk penuh adab. Jangan engkau luruskan kakimu di hadapannya, ini termasuk adab yang jelek. Jangan duduk dengan bersandar, ini juga adab yang buruk apalagi di tempat be­lajar. Lain halnya jika engkau duduk di tempat umum, maka ini lebih ringan.” (at-Ta’liq as-Tsamin hal. 181)

Bertanya kepada guru

Ilmu adalah bertanya dan menjawab. Dahulu dikatakan, “Bertanya dengan baik adalah setengah ilmu.” (Fathul Bari 1/142) Apabila ada pelajaran yang tidak dipahami maka bertanyalah ke­pada guru dengan baik. Bertanya dengan tenang, tidak tergesa-gesa dan pergunakanlah bahasa yang santun lagi sopan. Jangan guru itu dipanggil dengan namanya, katakanlah wahai guruku dan semisalnya. Karena guru perlu dihormati, jangan disamakan de­ngan teman. Allah berfirman;

لَا تَجْعَلُوا دُعَاء الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاء بَعْضِكُم بَعْضاً

Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul di antara kamu seperti pang­gilan sebahagian kamu kepada seba-hagian (yang lain) … (QS. an-Nur [24]: 63)

Ayat ini adalah pokok untuk membedakan orang yang punya kedudukan dengan orang yang biasa. Harap dibedakan keduanya. (al-Faqih wal Mutafaqqih, Adab at-Tatalmudz hal. 52)

Perhatian. Sering kita jumpai se­bagian para penuntut ilmu memaksa gurunya untuk menjawab dengan dalil atas sebuah pertanyaan. Seolah-olah sang murid belum puas dan terus mendesak seperti berkata kenapa begini, soya belum terima, siapa yang ber­kata demikian, semua ini harus dihindari. Pahamilah wahai saudaraku, guru adalah manusia biasa, bisa lupa dan bersalah. Apabila engkau pandang gurumu salah atau lupa dengan dalilnya maka janganlah engkau memaksa terus dan jangan memalingkan muka darinya. Berilah waktu untuk mendatangkan dalil di kesempatan lain. Jagalah adab ini, jangan sampai sang guru menjadi jemu, marah hanya karena melayani pertanyaanmu.

9. Perhatikan keadaan gurumu

Memperhatikan keadaan guru merupakan perkara yang penting. Karena mengajar memerlukan persiapan yang penuh. Jangan bertanya atau meminta belajar ketika kondisi guru tidak bersedia, semisal sedang sibuk, banyak permasalahan, sedih dan sebagainya.

Imam Nawawi rahimahullah berkata: “Janganlah engkau meminta belajar kepadanya ketika dia sibuk, sedang sedih, kelelahan, dan Iain-lain, karena hal itu akan menyebabkan dia malas untuk menjelaskan pelajaran kepadamu.” (al-Majmu’ 1/86)

10. Membela kehormatan guru

Ketahuilah selayaknya bagi siapa saja yang mendengar orang yang sedang mengghibah kehor­matan seorang muslim, hendaklah dia membantah dan menasehati orang tersebut. Apabila tidak bisa diam dengan lisan maka dengan tangan, apabila orang yang mengghibah tidak bisa dinasehati juga dengan tangan dan lesan maka tinggalkanlah tempat tersebut. Apabila dia mendengar orang yang mengghibah gurunya atau siapa saja yang mempunyai kedudukan, keutamaan dan kesholihan, maka hendaklah dia lebih serius untuk membantahnya. (Shohih al-Adzkar 2/832, Adab at-Tatalmudz hal. 33)

11. Jangan berlebihan kepada guru

Guru adalah manusia biasa. Tidak harus semua perkataannya diterima mentah-mentah tanpa menimbangnya menurut kaidah syar’iah. Orang yang selalu manut terhadap perkataan guru, bahkan sampai membela mati-matian ucapannya adalah termasuk sikap ghuluw (berlebih-lebihan). Apabila telah jelas kekeliruan guru maka nasehatilah, jangan diikuti kesalahannya. Jangan seorang guru dijadikan tandingan bagi Alloh dalam syariat ini. Allah berfirman;

اتَّخَذُواْ أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَاباً مِّن دُونِ اللّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُواْ إِلاَّ لِيَعْبُدُواْ إِلَـهاً وَاحِداً لاَّ إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ

Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka se-bagai Robb-Robb selain Allah, dan (juga mereka menjadikan Robb) Al-Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Ilah Yang Maha Esa; tidak ada Ilah (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Alloh dari apa yang me­reka persekutukan. (QS. at-Taubah [9]: 31)

Imam Mawardi rahimahullahmengatakan, “Sebagian para pengikut orang alim berbuat ghuluw kepada gurunya. Hingga menja­dikan perkataannya sebagai dalil sekalipun sebenarnya tidak boleh dijadikan dalil. Meyakini ucap­annya sebagai hujjah sekalipun bukan hujjah.” (Adab Dunya hal. 49, Adab at-Tatalmudz hal. 38)

12. Bila guru bersalah

Sudah menjadi ketetapan yang mapan bahwasanya tidak ada seorang pun yang selamat dari kesalahan. Salah merupakan hal yang wajar terjadi pada ma­nusia. Rasulullah -SHI bersabda;

Seluruh bani Adam banyak bersalah. Dan sebaik-baiknya orang yang ba­nyak bersalah adalah yang bertaubat. (HR. Tirmidzi 2499, Ibnu Majah 4251, Ahmad 3/198, ad-Darimi 273, Hakim 4/244; Lihat Shahih Jami’us Shoghir 4515)

Imam Ibnul Qoyyim berkata: “Barangsiapa yang mempunyai ilmu dia akan mengetahui de­ngan pasti bahwa orang yang mempunyai kemuliaan, mempu­nyai peran dan pengaruh dalam Islam maka hukumnya seperti ahli Islam yang lain. Kadang-kala dia tergelincir dan bersalah. Orang yang semacam ini diberi udzur bahkan bisa diberi pahala karena ijtihadnya, tidak boleh kesalahannya diikuti, kedudukannya tidak boleh dilecehkan di hadapan manusia.” (I’lamul Muwaqqi’in 3/295)’

Demikianlah beberapa adab seorang murid kepada gurunya. Semoga kita termasuk orang-orang yang selalu , berhiaskan akhlak yang mulia dan jauh dari akhlak yang rendahan. Amin. Wallahu A’lam.


Sumber:

Majalah AL FURQON, edisi 11 tahun VI Jumada Tsaniyah 1428 H, hal. 47-51

[i] Pembahasan ini banyak mengambil manfaat dari risalah Adabat-Tatalmudz oleh Syaikh Shalih bin Muhammad al-Asmari  -Semoga Allah menjaganya- dengan beberapa tambahan oleh penulis.

[ii] Ibrohim  an-Nakho’i berkata, “Barangsiapa yang mencari ilmu karena mengharap wajah Allah, maka Allah akan memberikan  kecukupan kepadanya”. (HR. Darimi 265).

[iii] Imam Hasan al-Bashri rahimahullah berkata: “Barangsiapa yahg mencari sesuatu dari ilmu ini dan menghendaki apa yang di sisi Allah, niscaya akan mendapatinya. Dan barangsiapa yang menghendaki dunia maka itulah bagiannya.” (HR. Darimi 254)

No comments:

Post a Comment